Riautama.com - Pasaman - Dalam tatanan pemerintahan yang sehat, setiap lembaga memiliki peran yang jelas. Eksekutif bekerja menjalankan kebijakan, legislatif mengawasi dan memberi masukan, sedangkan rakyat menilai hasilnya dengan mata jernih. Namun keseimbangan ini mulai terganggu. Yang semestinya mengawasi justru ikut mengatur, yang seharusnya mendampingi kini ingin memimpin arah.
Di lingkungan Pemerintah Daerah, muncul fenomena yang membuat banyak pihak mengernyit. Seorang anggota DPRD Provinsi tampak begitu dominan dalam berbagai urusan pemerintahan. Mulai dari ikut duduk di tim percepatan pembangunan, hingga mengonsep acara ulang tahun daerah, menentukan susunan kegiatan, bahkan turut memengaruhi siapa yang harus hadir dan siapa yang sebaiknya tidak.
Padahal, roda pemerintahan telah memiliki struktur dan jalur resmi.
Ada kepala daerah, ada sekda, ada perangkat teknis di setiap OPD yang bekerja sesuai aturan dan sistem. Ketika pihak legislatif dari luar struktur itu masuk terlalu dalam, maka makna pemerintahan otonom menjadi kehilangan bentuknya.
Alasannya sering terdengar sederhana. Katanya hanya ingin membantu agar program pemerintah berjalan cepat, atau ingin menyukseskan kegiatan daerah. Namun bantuan yang melewati batas bukan lagi bantuan, melainkan campur tangan yang meniadakan wibawa lembaga eksekutif.
Seorang anggota DPRD tidak bisa bertindak atas nama pribadi ketika berbicara di ruang publik. Statusnya melekat, simbolnya jelas, dan setiap tindakannya membawa makna politik. Maka ketika ia hadir dalam rapat tim pembangunan atau ikut mengarahkan acara resmi Pemda, publik tidak akan pernah melihat itu sebagai partisipasi, tetapi sebagai intervensi.
Akibatnya terasa nyata. Pemda menjadi kehilangan kendali dalam rumahnya sendiri. Kepala daerah yang seharusnya memimpin arah pembangunan terpaksa berbagi kuasa dengan figur politik yang tidak berada dalam garis komando. Pejabat teknis pun kehilangan keberanian mengambil keputusan, takut menyinggung pihak yang dianggap berpengaruh.
Dan pada akhirnya, yang lahir bukan lagi sistem pemerintahan yang solid, melainkan suasana kerja yang dipenuhi basa-basi politik.
Lebih menyedihkan lagi, campur tangan seperti ini sering dibungkus dengan kata sinergi. Padahal, sinergi sejati tidak meniadakan batas dan tidak menghapus garis tanggung jawab. Sinergi yang sehat adalah saling menghormati peran, bukan saling mengambil alih pekerjaan.
Kalau seorang legislator ingin membantu, ruangnya sudah tersedia. Gunakan pengaruh politik untuk memperjuangkan dukungan anggaran di tingkat provinsi. Suarakan aspirasi daerah agar lebih kuat di meja kebijakan. Tapi jangan ikut menulis konsep acara ulang tahun daerah atau duduk mengatur arah pembangunan di ruang rapat eksekutif. Karena di saat itu terjadi, makna otonomi pemerintahan berubah menjadi simbol ketergantungan politik.
Pemerintah Daerah tidak boleh kehilangan kemandiriannya. Bupati, sekda, dan seluruh jajaran harus berdiri tegak menjaga marwah lembaga. Pemerintahan yang baik bukan diukur dari banyaknya pejabat yang ingin ikut mengatur, tetapi dari ketegasan sistem dalam mempertahankan batasnya.
Rakyat tidak membutuhkan panggung politik yang ramai dengan wajah pejabat. Mereka hanya ingin hasil kerja yang bisa disentuh. Jalan yang bagus, air yang mengalir, pelayanan yang cepat, dan kehadiran pemerintah yang benar-benar bekerja.
Karena itu, sudah saatnya setiap pejabat memahami batas peran.
Legislatif berjuang di ruang kebijakan, eksekutif bekerja di ruang pelaksanaan. Ketika garis itu dijaga, marwah lembaga terpelihara, dan pemerintahan akan berdiri dengan tegak.
Kebesaran seorang pejabat bukan diukur dari seberapa jauh ia mampu ikut campur, tetapi dari seberapa kuat ia menahan diri untuk tidak melampaui batas yang bukan miliknya. Dan di situlah kehormatan sejati sebuah jabatan terlihat, bukan dari tepuk tangan yang didapat, tetapi dari keheningan yang penuh hormat terhadap aturan dan etika yang dijaga.
(MAL)
Social Footer